Free Template Blogger collection template Hot Deals BERITA_wongANteng SEO theproperty-developer
Dilema pembuatan undang-undang yang tidak sesuai kehendak rakyat terdengar tidak asing lagi ditelinga kita.
Undang-undang datang dan pergi bagaikan musim yang berganti. Setiap adanya pembaharuan Kabinet timbul undang-undang, ini yang dinamakan (Penanaman Kebijakan). Sebenaryan untuk apa sih undang-undang itu? Apakah undang-undang digunakan hanya sebagai pelepas dahaga saja oleh para legislasi, atau hanya sebatas memuluskan kebijakannya? Untuk itu ini merupakan pertanyaan yang besar yang perlu kita lihat dan perhatikan.
DPR merupakan pembentuk undang-undang. Sebagaimana yang telah ditetapkan dalam UUD 1945, Pasal 20 ayat (1) Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Kemudian dalam pasal 20A ayat (1) Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Dan kemudian diperjelas kembali dalam UU No. 10 Tahun 2004, Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Pasal 1 Ayat (3) bahwa, “Undang-Undang Adalah Peraturan Perundang-Undangan Yang Dibentuk Oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden.”
Artinya fungsi DPR sebagai legislagi suatu peraturan perundang-undangan dapat menjamin bahwa peraturan yang dibuat tersebut berguna atau tidak dalam upaya mensejahtraankan rakyat, sebagaimana yang diamanatkan dalam pembukaan UUD Negara Republik Indonesia 1945, Pada Alenia ke-4, yaitu “...untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum…..”. Hal ini menunjukakan bahwa peraturan yang dibuat oleh DPR sebagai badan Legislasi harus benar-benar melihat apakah peratuan tersebut sesuai kehendak dan hati nurani rakyat atau tidak, supaya peraturan yang dibuat mampu menciptakan sistem pemerintahan yang baik.
DPR Tangan Parpol ?
Keberadaan Partai Politik dalam kehidupan ketatanegaraan pertama kali dijumpai di Eropa barat, yakni sejak adanya gagasan bahwa rakyat merupakan faktor yang patut diperhitungkan serta diikut sertakan dalam proses politik. Keberadan Partai Politik itu sendiri sejalan dengan munculnya paham demokrasi dan kedaulatan rakyat dalam penyelenggaran sistem ketatanegaraan.
Untuk melihat serta mengetahui apa sebenarnya partai politik itu. Dalam Kamus lengkap Bahasa Indonesia Partai adalah pihak, segolongan orang perkumpulan yang siasas, sehaluan, setujuan dan sebagainya dalam ketatanegaraan. Sedangkan arti Politik menurut Kamus Lengkap Bahasa Indonesia adalah pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan; segala urusan dan tindakan kebijaksanaan, siasat dan sebagainya mengenai pemerintahan sesuatu negara atau terhadap negara lain.
Tak jauh dari itu Miriam Budiardjo menerangkan bahwa Partai Politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama dengan tujuan memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik (biasanya), dengan cara konstitusional guna melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka.
DPR adalah lembaga Negara yang dipilih secara demokratis melalui sebuah partai politik. Jadi DPR sendiri merupakan kepanjangan tangan dari sebuah partai politik didalam pemerintahan. Fungsi DPR Sebagai pembentuk undang-undang tentunya sangat mudah dimanfaatkan oleh segolongan partai politik sebagai sarana menjalankan tujuan partaiya tersebut. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa keberadaan partai politik memiliki tujuan pokok yaitu menguasai, merebut ataupun mempertahankan kekuasaan dalam pemerintahan negara secara konstitusional.
Dalam menggunakan kekusaan yang ada dipemerintahan partai politik tak ubahnya seperti seekor peredator (pemangsa). Vedi R. Hadiz, pernah mengatakan bahwa Peredatoris adalah aparat Negara dan otoritas publik yang menjadi milik dari korps birikratik-politik yang tujuan utamanya adalah kekayaan politik dan ekonomi mereka sendiri.
Dalam bukunya Fajlurrahman Jurdi, yang berjudul Predator-Predator Pasca Orde Baru, menegaskan bahwa predator adalah kelas penguasa yang memiliki akses atas kepentingan publik, lalu mereka menguasai dan mengelolanya sekehendak hati mereka tanpa memikirkan akibat-akibat sosial bagi masyarakat. Undang-undang adalah salah satu akses untuk menjalakan kebijakan pemerintahan, karna Undang-undang tempat dimana ditanamkannya aturan-aturan ketatanegaraan.
Sebelum disahkannya Undang-undang, DPR akan menggodok terlebih dahulu Rancangan Undang-undang. Apabila rancanagan Undang-udang tersebut tidak sesuai, maka DPR dan Presiden berhak menarik atau mencabut kembali Rancangan Undang-undang tersebut. Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 35 ayat (2) UU. No. 10 Tahun 2004, “Rancangan Undang-undang yang sedang dibahas hanya dapat ditarik kembali berdasarkan persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden”.
Ada kemungkinan rancangan undang-undang yang sesuai dengan hati DPR sajalah yang akan diundangkan dan disetujui bersama, apalagi DPR dan Presidennya berasal dari partai yang sama. Kalaupun tidak, DPR tetap saja memiliki kebebasan untuk menjadikan rancangan undang-undang sah sebagai undang-undang, sebagaimana dijelaskan dalam pasal 38 ayat (2) UU.No.10 Tahun 2004. “Dalam hal rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ditandatangani oleh Presiden dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak rancangan undang-undang tersebut disetujui bersama, maka rancangan undang-undang tersebut sah menjadi Undang-Undang dan wajib diundangkan”. Dengan diundangkannya Undang-undang dalam Lembaran Negara, maka sahlah Undang-undang tersebut sebagai peraturan yang mengikat seluruh Rakyat Indonesia (Imperatif).
Diskresi adalah kebijakan dari pejabat yang intinya membolehkan pejabat publik melakukan sebuah kebijakan yang melanggar UU, dengan tiga syarat. Yakni, demi kepentingan umum, masih dalam batas wilayah kewenangannya, dan tidak melanggar Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik.
Batas-batas diskresi bagi seseorang pejabat Administrasi Pemerintahan yang menggunakan diskresi dalam pembuatan suatu Keputusan Administrasi Pemerintahan, wajib memperhatikan
1. tujuan dari pemberian diskresi.
2. dasar hukum yang berlaku.
3. kepentingan umum.
4. Negara dalam keadaan darurat, bencana alam.
5. Dapat dipertanggungjawabkan sesuai asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Perlu diperhatikan bahwa dalam diskresi terdapat Batas Prosedural Murni yang meliputi:
a. Tidak ada kepentingan antara pejabat dengan produk diskresi
b. Adanya persetujuan dari masyarakat, jika diskresi akan merugikan
c.Didasarkan pertimbangan dan perbuatan hukum Pejabat Administrasi Pemerintahan berdasarkan fakta yang benar .
Asas legalitas sebagai aktualisasi paradigma supremasi hukum, dalam Undang-Undang ini secara tegas dinyatakan dalam perincian kewenaggan Kepolisian Negara Republik Indonesia, yaitu melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya. Namun, tindakan pencegahan tetap diutamakan melalui pengembangan asas preventif dan asas kewajiban umum kepolisian, yaitu memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. Dalam hal ini setiap pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia memilik kewenangan diskresi, yaitu kewenangan untuk bertindak demi kepentingan umum berdasarkan penilaian sendiri.
Menurut Pakar hukum Administrasi Negara UI, Prof. Benyamin Hossein mendefinikan “Diskresi, adalah kebebasan Pejabat dalam mengambil keputusan menurut pertimbangannya sendiri”.
Terkait dengan diskresi, memang batasan diskresi sampai saat ini masih kurang jelas, kurang tegas, alias abu-abu banyak kontraversial antara satu dengan lainnya, sehingga hak diskresi ini sangat berpotensi terjadinya tindak pidana korupsi dalam bentuk gratifikasi.
Diskresi memang diperlukan karena lingkup aturan tidak menjangkau secara komprehensif dan detail bagaimana setiap Pejabat dapat menjalankan tugas, wewenang dan tanggungjawabnya di lapangan, sehingga diperlukan ada pertimbangan dan kebijakan subyektif dari Pejabat publik bersangkutan demi kelancaran tugas-tugasnya. UUD 1945 tidak memuat ketentuan yang melarang pemberian diskresi. Namun dalam praktiknya tidak sedikit Pejabat cenderung menyalahgunakan hak diskresi yang dimilikinya, terutama pada Pejabat Penegak Hukum baik di tingkat Penyidik POLRI, maupun ditingkat Penyidik Kejaksaan. Sebagai contoh bagaimana diskresi digunakan dalam mensikapi pasal 31 ayat (1) juncto pasal 21 ayat (1) dan ayat (4) KUHAP Juncto pasal 35 dan 36 PPRI No.27 Tahun 1983 tentang Palaksanaan KUHAP.
Adanya alasan subyektif memang memberikan diskresi atau keleluasaan pada pihak penyidik, penuntut umum, atau hakim untuk mengabulkan atau tidak mengabulkan permohonan keberatan atas dilakukan penahanan terhadap diri tersangka atau terdakwa, atau menyangkut adanya permohonan penangguhan atau pengalihan jenis penahanan terhadap diri tersangka/terdakwa. Karena kegunaan penahanan telah diatur dalam pasal 20 ayat (1), (2) dan (3) KUHAP dan dengan memperhatikan pasal 31 ayat (1) KUHAP pejabat bersangkutan dapat melakukan penangguhan dengan atau tanpa jaminan uang atau orang dengan syarat yang ditentukan. Namun dalam praktiknya walaupun secara hukum telah memenuhi syarat, belum tentu permohonan dari keluarga tersangka atau Penasihat Hukumnya tentang penangguhan atau pengalihan jenis penahanan tersangka atau terdakwa yang disertai adanya jaminan dapat dikabulkan begitu saja oleh Pejabat bersangkutan. Karena Pejabat bersangkutan punyak hak diskresi untuk menafsirkan sendiri baik untuk menolak atau mengabulkannya.
Kalau untuk pejabat publik lainnya Asas-asas Umum Pemerintahan yang baik (AUPB) dapat sebagai ukuran digunakannya hak diskresi, namun bagi Pejabat POLRI, diskresi ada dasar hukumnya dan ini dapat dilihat dalam UU No.2 tahun 2002 tentang Kepolisian dan UU No.8 tahun 1981 tentang KUHAP. Dalam pasal 15 ayat (2) huruf k Jo. Pasal 16 ayat (1) huruf l disebutkan, ”Dalam rangka menyelenggarakan tugas di bidang proses pidana, POLRI berwenang untuk mengadakan tindakan lain dalam bentuk tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan sbb : (a) tidak bertentangan dengan suatu aturan hokum, (b) selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan, (c) harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya, (d) pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa ; dan (e) menghormati hak asasi manusia.
Hak diskresi juga terdapat dalam pasal 18 ayat (1) dan (2) UU No.2 tahun 2002 yang menyebutkan, untuk kepentingan umum Pejabat POLRI dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri, yang dilakukan dalam keadaan sangat perlu dengan memperhatikan peraturan dan perundang-undangan, serta kode etik profesi POLRI.
Muhammad Sholihin
Semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut disebut Keuangan Negara.
Keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1, meliputi : a) hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman. b) kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga. c) Penerimaan Negara. d) Pengeluaran Negara. e) Penerimaan Daerah. f) Pengeluaran Daerah. g) kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/ perusahaan daerah. h) kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum. i) kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah, Kekayaan pihak lain sebagaimana dimaksud dalam huruf i meliputi kekayaan yang dikelola oleh orang atau badan lain berdasarkan kebijakan pemerintah, yayasan-yayasan di lingkungan kementerian negara/lembaga, atau perusahaan negara/daerah.
Berdasarkan Pasal 2 huruf (h) UU Keuangan Negara, keuangan negara meliputi kekayaan pihak lain yang dikuasai pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan atau kepentingan umum," ujarnnya. Pasal 1 UU itu menyebutkan, keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu, baik berupa uang maupun berupa barang, yang dapat dijadikan milik negara.
Nah mengenai perseteruan antara BPK (Badan Pengawas Keuangan) dan MA (Mahkamah Agung). Apakah biaya perkara yang dititipkan di pengadilan termasuk keuangan negara? Menurut Pelaksana Tugas Kepala Biro Humas dan Luar Negeri BPK B Dwita Pradana kepada Kompas. pekan lalu, keseluruhan biaya perkara, walau titipan, harus ditetapkan sebagai keuangan negara dan obrik audit BPK.
Peraturan tentang biaya perkara di Mahkamah Agung itu sebagai keuangan negara bulum jelas. Ketika masih kabinet indonesia bersatu I yang dipimpin oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan M Yusuf Kala, MA bersedia diaudit asal BPK menunggu PP tentang Tata Cara Pengelolaan Biaya Perkara di Peradilan dan MA.
Meski diijanjikan bahwa PP itu terbit paling lambat November 2007, hingga kini PP belum juga ada. Sehingga BPK belum bisa memeriksa biaya perkara pada MA.
Hanya PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) yang bisa diaudit. Nah Inti materi RPP itu menyebutkan, biaya perkara yang tidak termasuk biaya penelesaian perkara yang dibebankan kepada pemohon atau penggugat. Yang bisa dikategorikan PNBP ialah jika terdapat sisa biaya proses perkara yang tidak diambil dalam waktu paling lambat 180 hari setelah pemberitahuan. RPP itu sama sekali tidak menegaskan biaya perkara bisa diaudit BPK.
Seharusnya biaya perkara pada MA merupakan bagian dari keuangan negara, karna itu merupakan kekayaan pihak lain yang dikuasai pemerintah, yang di jelaskan dalam UU keuangan negara pasal 2 huruf (h). Namun UU ini tidak kuat karna tidak menjelaskan secara konkrit apakah biaya perkara pada MA merupakan keuangan negara, ditambah lagi dengan PP yang tidak jelas keberadaannya itu.
Apakah BUMN Termasuk Keuangan Negara?
Pasal 1 ayat (2) UU No. 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara menyatakan bahwa Perusahaan Persero, yang selanjutnya disebut Persero, adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan.
Selanjutnya Pasal 11 menyebutkan terhadap Persero berlaku segala ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi perseroan terbatas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. (kini diganti UU. No. 40 Tahun 2007)
Karakteristik suatu badan hukum adalah pemisahan harta kekayaan badan hukum dari harta kekayaan pemilik dan pengurusnya. Dengan demikian suatu Badan Hukum yang berbentuk Perseroan Terbatas memiliki kekayaan yang terpisah dari kekayaan Direksi (sebagai pengurus), Komisaris (sebagai pengawas), dan Pemegang Saham (sebagai pemilik).
Begitu juga kekayaan yayasan sebagai Badan Hukum terpisah dengan kekayaan Pengurus Yayasan dan Anggota Yayasan, serta Pendiri Yayasan. Selanjutnya kekayaan Koperasi sebagai Badan Hukum terpisah dari Kekayaan Pengurus dan Anggota Koperasi.
BUMN yang berbentuk Perum juga adalah Badan Hukum. Pasal 35 ayat (2)
Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara menyatakan, Perum memperoleh status Badan Hukum sejak diundangkannya Peraturan Pemerintah tentang pendiriannya.
Berdasarkan Pasal 7 ayat (6) Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, BUMN Persero memperoleh status badan hukum setelah akte pendiriannya disahkan oleh Menteri Kehakiman (sekarang Menteri Hukum dan HAM).
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas kekayaan BUMN Persero maupun kekayaan BUMN Perum sebagai badan hukum bukanlah keuangan negara.
Belum lama ini, Mahkamah Agung mengeluarkan fatwa hukum atau judicial review No. WKMA/Yud/20/VIII/2006 yang menegaskan bahwa pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, khususnya pada BUMN/BUMD, tidak termasuk sebagai keuangan negara sehingga tidak terikat pada ketentuan keuangan negara.
Bila kita telaah lebih lanjut, fatwa tersebut hanya mengungkapkan bahwa ketentuan pengelolaan keuangan negara tidak berlaku pada BUMN/BUMD dan pengelolaan kekayaan negara lainnya yang dipisahkan.
Beberapa pihak menafsirkan bahwa korupsi di BUMN/BUMD tidak berkaitan dengan kerugian negara. Pihak lainnya beranggapan fatwa tersebut tidak berkaitan dengan kekayaan negara, sehingga tidak memiliki pengaruh pada penafsiran kerugian negara pada kasus-kasus tipikor. Kondisi ini sesungguhnya merupakan implikasi dari ambiguitas status BUMN. Di satu sisi, BUMN terkait dengan hukum publik dan tunduk pada Undang-Undang 17/2003 tentang Keuangan Negara, UU 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UU 15/2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Di sisi lain, BUMN tunduk terhadap hukum privat atau korporat dan tunduk pada UU 19/2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, UU 1/1995 tentang Perseroan Terbatas, UU 8/1995 tentang Pasar Modal, dan Anggaran Dasar perusahaan.