
Semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut disebut Keuangan Negara.
Keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1, meliputi : a) hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman. b) kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga. c) Penerimaan Negara. d) Pengeluaran Negara. e) Penerimaan Daerah. f) Pengeluaran Daerah. g) kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/ perusahaan daerah. h) kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum. i) kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah, Kekayaan pihak lain sebagaimana dimaksud dalam huruf i meliputi kekayaan yang dikelola oleh orang atau badan lain berdasarkan kebijakan pemerintah, yayasan-yayasan di lingkungan kementerian negara/lembaga, atau perusahaan negara/daerah.
Berdasarkan Pasal 2 huruf (h) UU Keuangan Negara, keuangan negara meliputi kekayaan pihak lain yang dikuasai pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan atau kepentingan umum," ujarnnya. Pasal 1 UU itu menyebutkan, keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu, baik berupa uang maupun berupa barang, yang dapat dijadikan milik negara.
Nah mengenai perseteruan antara BPK (Badan Pengawas Keuangan) dan MA (Mahkamah Agung). Apakah biaya perkara yang dititipkan di pengadilan termasuk keuangan negara? Menurut Pelaksana Tugas Kepala Biro Humas dan Luar Negeri BPK B Dwita Pradana kepada Kompas. pekan lalu, keseluruhan biaya perkara, walau titipan, harus ditetapkan sebagai keuangan negara dan obrik audit BPK.
Peraturan tentang biaya perkara di Mahkamah Agung itu sebagai keuangan negara bulum jelas. Ketika masih kabinet indonesia bersatu I yang dipimpin oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan M Yusuf Kala, MA bersedia diaudit asal BPK menunggu PP tentang Tata Cara Pengelolaan Biaya Perkara di Peradilan dan MA.
Meski diijanjikan bahwa PP itu terbit paling lambat November 2007, hingga kini PP belum juga ada. Sehingga BPK belum bisa memeriksa biaya perkara pada MA.
Hanya PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) yang bisa diaudit. Nah Inti materi RPP itu menyebutkan, biaya perkara yang tidak termasuk biaya penelesaian perkara yang dibebankan kepada pemohon atau penggugat. Yang bisa dikategorikan PNBP ialah jika terdapat sisa biaya proses perkara yang tidak diambil dalam waktu paling lambat 180 hari setelah pemberitahuan. RPP itu sama sekali tidak menegaskan biaya perkara bisa diaudit BPK.
Seharusnya biaya perkara pada MA merupakan bagian dari keuangan negara, karna itu merupakan kekayaan pihak lain yang dikuasai pemerintah, yang di jelaskan dalam UU keuangan negara pasal 2 huruf (h). Namun UU ini tidak kuat karna tidak menjelaskan secara konkrit apakah biaya perkara pada MA merupakan keuangan negara, ditambah lagi dengan PP yang tidak jelas keberadaannya itu.
Apakah BUMN Termasuk Keuangan Negara?
Pasal 1 ayat (2) UU No. 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara menyatakan bahwa Perusahaan Persero, yang selanjutnya disebut Persero, adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan.
Selanjutnya Pasal 11 menyebutkan terhadap Persero berlaku segala ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi perseroan terbatas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. (kini diganti UU. No. 40 Tahun 2007)
Karakteristik suatu badan hukum adalah pemisahan harta kekayaan badan hukum dari harta kekayaan pemilik dan pengurusnya. Dengan demikian suatu Badan Hukum yang berbentuk Perseroan Terbatas memiliki kekayaan yang terpisah dari kekayaan Direksi (sebagai pengurus), Komisaris (sebagai pengawas), dan Pemegang Saham (sebagai pemilik).
Begitu juga kekayaan yayasan sebagai Badan Hukum terpisah dengan kekayaan Pengurus Yayasan dan Anggota Yayasan, serta Pendiri Yayasan. Selanjutnya kekayaan Koperasi sebagai Badan Hukum terpisah dari Kekayaan Pengurus dan Anggota Koperasi.
BUMN yang berbentuk Perum juga adalah Badan Hukum. Pasal 35 ayat (2)
Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara menyatakan, Perum memperoleh status Badan Hukum sejak diundangkannya Peraturan Pemerintah tentang pendiriannya.
Berdasarkan Pasal 7 ayat (6) Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas, BUMN Persero memperoleh status badan hukum setelah akte pendiriannya disahkan oleh Menteri Kehakiman (sekarang Menteri Hukum dan HAM).
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas kekayaan BUMN Persero maupun kekayaan BUMN Perum sebagai badan hukum bukanlah keuangan negara.
Belum lama ini, Mahkamah Agung mengeluarkan fatwa hukum atau judicial review No. WKMA/Yud/20/VIII/2006 yang menegaskan bahwa pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, khususnya pada BUMN/BUMD, tidak termasuk sebagai keuangan negara sehingga tidak terikat pada ketentuan keuangan negara.
Bila kita telaah lebih lanjut, fatwa tersebut hanya mengungkapkan bahwa ketentuan pengelolaan keuangan negara tidak berlaku pada BUMN/BUMD dan pengelolaan kekayaan negara lainnya yang dipisahkan.
Beberapa pihak menafsirkan bahwa korupsi di BUMN/BUMD tidak berkaitan dengan kerugian negara. Pihak lainnya beranggapan fatwa tersebut tidak berkaitan dengan kekayaan negara, sehingga tidak memiliki pengaruh pada penafsiran kerugian negara pada kasus-kasus tipikor. Kondisi ini sesungguhnya merupakan implikasi dari ambiguitas status BUMN. Di satu sisi, BUMN terkait dengan hukum publik dan tunduk pada Undang-Undang 17/2003 tentang Keuangan Negara, UU 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UU 15/2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Di sisi lain, BUMN tunduk terhadap hukum privat atau korporat dan tunduk pada UU 19/2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, UU 1/1995 tentang Perseroan Terbatas, UU 8/1995 tentang Pasar Modal, dan Anggaran Dasar perusahaan.
Oleh: Muhammad Sholihin
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
Free Template Blogger
collection template
Hot Deals
BERITA_wongANteng
SEO
theproperty-developer